Akankah Kau Kembali Bersamaku

By November 22, 2014



Sampai saat ini, perasaan ini tak berubah. Masih sama seperti saat itu. Rasa sakit, perih, pilu bak mengiris hati ini. Tawa dan canda dan dukungan teman-teman tak mampu menghapus luka itu. Aku sadar aku harus memulai hidupku lagi. Tapi, entah kenapa, rasa takut masih saja menghantuiku. Bayang-bayang masa lalu datang dan pergi bak ombak di pantai. Aku ingin lari dari semua ini. Sadar Kinan, dia sudah tiada, jerit batinku. Lalu, tiba-tiba dunia serasa berputar, cepat, semakin cepat, gelap.

Atap putih, dinding putih, semuanya serba putih menyadarkanku bahwa aku sudah tidak berada di kamar kosku lagi. Aku mencoba mengingat apa yang membuatku ada di sini. Pikiranku melayang. Aku teringat sore yang kelam itu. Karena aku, kejadian itu terjadi. Entah kenapa, dunia gelap kembali.

***

“Fan, hari ini kamu sibuk, nggak?” tanyaku pada Fandi, kekasihku yang telah memacariku tiga tahun ini.

“Ada apa, Sayang?” jawabnya dari seberang sana.

“Nggak, aku cuma mau minta kamu nganterin aku ke mal. Kamu inget nggak, hari ini hari apa?” kataku.

“Wait a minute, hari apa ya? Maaf, aku lupa. Memang hari apa?” tanyanya.

“Hari ini Keyra ulang tahun. Aku pengen beri dia kado spesial. Jadi, kamu bisa anterin aku, nggak?”

“Ya, aku usahain. Tapi, aku nggak janji. Nanti aku kabarin lagi,”

“Ya, udah. Kalau nggak bisa juga nggak apa-apa. Aku bisa berangkat sendiri,” jawabku sedikit kecewa.

“Ngambek, nih?” candanya.

“Aku nggak ngambek. Udah, lanjutin aja pekerjaaan kamu. Biar cepat selesai. Nanti kalau kelamaan nelpon di marahi bos kamu lagi,”

“Ya, Say. Love you,” ucap Fandi.

“Love you too,” ujarku. Setelah itu, ku matikan hpku.

Entah kenapa, tiba-tiba aku mengingat awal pertemuan ku dengannya. Aku mengenalnya dari sahabatku, Keyra. Ketika itu, aku tidak berpikir dia akan menjadi kekasihku. Memang, aku akui dia tampan, baik, penyayang, dan sukses. Tapi, semua itu tidak membuatku langsung mencintainya. Pada saat itu, aku beranggapan bahwa semua cowok sama saja. Apalagi cowok sepertinya. Sama-sama bulshit. Semakin hari, semakin sering pula dia mendekatiku. Semakin dia mendekatiku, semakin aku jatuh dalam cintanya. Pada malam bulan purnama itu, dia mengajakku pergi ke pantai. Dengan disaksikan dewi malam dan jutaan bintang, dia menyatakan perasaannya padaku. Sejak saat itu, kami resmi menjadi sepasang kekasih. Hari-hari serasa lebih indah. Tiga tahun berpacaran terasa cukup bagi kami untuk saling mengenal. Lima hari yang lalu, dia memutuskan untuk melamarku. Sungguh, aku sangat gembira. Tapi, di sisi lain hatiku merasa sedih. Aku sendiri tak tahu kenapa.

Tok tok tok...

Aku baru tersadar dari lamunanku. Siapa ya, apa Fandi, pikirku. Tapi, Fandi belum menelponku. Lalu, ku buka pintu kamar kosku. Ya, benar. Itu Fandi. Dia memakai kemeja warna biru. Warna kesukaanku. Kado dariku pada saat ulang tahunnya yang ke-24. Dia terlihat lebih tampan dari biasanya. Aku terkesima dibuatnya. Aku tersadar dari lamunanku saat dia mengecup keningku. Tiba-tiba, dia keluarkan tangan kirinya dari balik punggungnya. Dia memberiku bunga mawar putih.

“Ini buat kamu, Sayangku. Terima kasih telah menjaga hatiku. Kamu adalah hal terindah yang pernah aku miliki,” ucapnya dengan sungguh-sungguh.

“Makasih, sayang. Kamu adalah cowok teromantis dan terbaik yang pernah aku kenal. Kamu kok nggak telepon dulu kalau mau datang?” tanyaku setelah menerima bunga darinya.

“Ya, aku sengaja nggak beri tahu kamu soalnya aku pengen buat kejutan sama kamu,” jawabnya.

“Ya udah, kamu tunggu dulu, ya! Aku mau ambil tas dulu,” ujarku sambil masuk ke kamar kosku.

“Ok, My princess!” jawabnya. Dia sangat senang memanggilku dengan sebutan my princess.

Aku mengambil tasku yang terletak di dekat meja rias. Aku merapikan diri di depan kaca. Aku baru tersadar bahwa air mataku telah menetes. Kenapa aku setakut ini? Aku takut kehilangannya. Bahkan, aku tak sanggup untuk kehilangan dia. Secepatnya, aku menghapus air mata ini. Aku tak mau dia melihatku menangis.

“Ayo, Fan!” ajakku setelah mengunci pintu kamar kosku.

Dia berjalan lebih dulu. Baru beberapa langkah aku berjalan, tiba-tiba kakiku menjadi kaku.

“Fandi!” jeritku.

“Ada apa, Kinan?” jawab Fandi terdengar khawatir sambil menuju ke arahku.

Aku langsung memeluknya. Aku tidak sanggup untuk berkata-kata. Aku menangis sejadi-jadinya. Memeluknya seperti hal terakhir yang bisa aku lakukan untuknya. Fandi bingung melihat tingkah lakuku. Tapi, aku tidak menghiraukannya. Aku tidak sanggup untuk melepaskan pelukan ini. Sampai Fandi melepaskan pelukakanku.

“Sayang, ada apa?” ujar Fandi terlihat cemas.

“Fandi, kamu mau janji sama aku, kan?” pintaku padanya.

“Janji apa, Sayang?”

“Janji nggak akan tinggalin aku. Janji untuk terus bersama aku. Janji untuk sehidup semati denganku,” jawabku dengan bercucuran air mata.

“Kinan, tatap mata aku. Aku nggak akan sanggup untuk tinggalin kamu. Aku akan terus bersama cinta ini sampai mati meskipun kamu pergi meninggalkanku. Tapi, jika aku pergi meninggalkanmu, kamu harus janji sama aku, kamu harus bisa membuka hatimu untuk orang lain. Jangan pernah menutup hatimu karena aku!” jawab Fandi tegas yang membuatku semakin tenang sekaligus sedih.

“Aku janji atas nama cinta ini,” janjiku padanya.

“Katanya mau beli kado buat Keyra?” ujarnya sambil menghapus air mataku dan mengecup keningku.

Akhirnya, kami berangkat. Ucapannya tadi tidak mampu membuat hatiku tenang. Hatiku tetap gundah. Aku sangat takut kalau hari ini menjadi hari terakhirku dengannya. Aku takut kalau besok aku tidak bisa melihat matanya yang tajam, wajahnya yang tampan, badannya yang gagah, senyumnya yang manis. Selama perjalanan, aku tidak sanggup untuk bicara. Hatiku terlalu sedih. Fandi juga tak berani mengajakku bicara. Sesampainya di mal, kami langsung menuju toko boneka yang terkenal di kota ini. Aku memilih boneka untuk Keyra dan langsung membayarnya ke kasir. Aku baru sadar bahwa Fandi tidak bersamaku. Aku bingung. Tapi, tiba-tiba Fandi muncul dari belakang.

“Sayang,” ujarnya sambil memamerkan senyumnya.

“Fan, kamu kemana aja?” jawabku cemas.

“Maaf, Sayang. Aku tadi ketemu Rangga, temenku SMA,” jawabnya menyesal.

“Lain kali bilang, ya! Aku cemas banget. Kamu pengen makan apa?” tanyaku.

“Aku pengen makan pangsit di depan mal ini sambil ngenang pertama kali kita ketemu,” jawabnya.

“Aku juga pengen,” jawabku menyetujui usulnya.

Akhirnya, kami berangkat ke sana. Pangsit “Ruwet” namanya. Pangsit ini sangat terkenal di kalangan anak kuliah. Mungkin karena harganya yang murah tapi rasanya berkelas. Tempat pangsit ini berada di seberang mal. Ketika hendak menyeberang, entah kenapa perasaanku menjadi cemas. Perasaan ini lebih menyakitkan daripada perasaan saat berangkat.

“Fandi!” panggil seseorang di belakang kami.

“Kinan, kamu denger orang panggil namaku, nggak?” tanyanya padaku sebelum dia menoleh mencari asal suara itu.

“Ya, aku denger,” jawabku karena memang aku mendengar ada seseorang yang memanggil Fandi.

“Wah, dipanggilin dari tadi nggak mau noleh. Sombong,” ucap seseorang sambil menepuk punggung Fandi.

“Chiko! Lama nggak ketemu. Gimana kabar Kamu sekarang?” ucap Fandi kaget.

“Baik, kamu sendiri gimana? Sekarang sudah sukses, ya,” ucap teman Fandi.

“Seperti yang kamu lihat, aku baik-baik aja. Kenalin, ini pacar aku Kinan,” kata Fandi mengenalkanku pada temannya.

“Kenalin aku Chiko, sahabat Fandi di SMP,” katanya sambil menyodorkan tangan.

“Kinan,” jawabku sambil menjabat tangannya.

“Fandi, ajak Chiko makan siang bareng kita. Kalian disini aja dulu. Aku mau pesen makan buat kita. Nanti kalau sudah selesai aku sms kamu, Fan. Ya, udah aku kesana dulu,” kataku.

“Sekalian aja!” ujar Fandi.

“Nggak usah. Kalian disini aja dulu. Disana ramai banget,” tolakku.

“Ya udah. Terserah kamu. Hati-hati!” ucapnya.

Saat aku menyeberang, seolah-olah aku tidak melihat apa-apa. Jalan sepertinya lenggang. Tetapi, bunyi klakson bus itu baru menyadarkanku bahwa datang bus dari arah berlawanan. Aku menjerit tanpa sanggup berlari ke tepi karena jarak bus itu sudah sangat dekat denganku. Tiba-tiba ada yang mendorongku dari arah belakang.

Bruk ...

Tangisanku meledak seketika. Aku sadar apa yang telah terjadi. Bus itu telah merenggut nyawanya, harapannya, harapanku. Seketika itu, aku peluk dia erat. Sangat erat. Aku biarkan darahnya bercampur dengan tangisku. Aku biarkan darahnya membanjiri bajuku.

“Kinan, aku sayang kamu selamanya. Mengenalmu adalah kebahagian untukku. Terima kasih untuk semuanya,” ujar Fandi lirih.

“Fandi, aku mohon jangan tinggalkan aku sendiri,” pintaku.

Pelan-pelan matanya tertutup. Tangisku semakin deras. Aku tak sanggup lagi dan dunia ini menjadi gelap.

***

Ketika aku sadar, Keyra sedang bersamaku. Matanya sembab. Aku panik.

“Apa yang terjadi, Key? Mana Fandi?” tanyaku padanya.

“Ikhlaskan dia! Dia sudah bahagia di tempatnya yang baru,” jawabnya.

Aku baru ingat apa yang terjadi. Aku langsung meminta Keyra untuk membawaku ke makamnya. Tanah itu masih basah seperti pipiku yang tak pernah kering oleh air mata sejak kejadian itu. Masih tak percaya dengan peristiwa itu. Rencana ku, rencananya pupus sudah. Aku serasa tak kuat lagi. Mengingat hari itu membuatku hancur. Fan, kenapa tak kau bawa aku bersamamu?

***



“Kinan,” panggil seseorang.

Aku seperti mengenal suara itu. Ya, itu suara Fandi. Tapi di mana dia? Aku berusaha mencarinya. Hingga dia tiba-tiba muncul di hadapanku.

“Fandi, kamu kemana aja? Aku kangen kamu. Kamu udah janji nggak ninggalin aku, kan? Tapi, kenapa kamu ingkarin itu?” tanyaku padanya.

“Kinan, aku juga kangen kamu. Aku cinta kamu. Tapi, aku harus pergi. Kamu harus tepati janji kamu sama aku. Janji?” pintanya.

Sebelum aku sempat menjawab, cahaya putih sudah datang menjemputnya, meninggalkanku sendiri disini. Aku berusaha untuk mengejarnya tapi aku tak kuasa. Fandi, aku mohon kembali, jeritku tanpa mampu bersuara. Perlahan aku tersadar. Fandi, kamu dimana?

“Kinan, kamu udah sadar?” tanya mama saat pertama kali aku membuka mata.

“Kinan, aku mohon jangan buat kami khawatir lagi. Kami sayang sama kamu. Ikhlaskan dia. Jangan buat dia bersedih,” pinta Keyra padaku setelah aku berhasil melihat semua orang yang ada dalam ruangan ini.

Aku meneteskan air mata. Aku baru menyadari bahwa sesungguhnya aku tak sendiri. Orang tua, saudara, sahabat selalu ada untuk menghiburku. Sudah waktunya aku untuk menatap hariku. Menjadikan semuanya kenangan terindah. Tapi, satu hal yang masih membuatku hancur. Janjiku padanya. Entah, kapan aku mampu untuk menepati janjiku itu?

You Might Also Like

0 komentar

Fitria Nurrahmawati. Powered by Blogger.