Izinkan Aku Melihat Bulan

By November 22, 2014



Malam ini sungguh sangat menggigit. Entah, ini hanya perasaanku saja atau memang udara malam ini sangat menusuk. Aku terdiam di sudut ruang ini. Aku mencoba mengingat semua kegiatan yang aku lakukan di ruang ini. Ruang yang cukup besar menurut sebagian orang dengan atap bewarna putih dan dinding biru. Di lengkapi dengan ranjang yang nyaman dan berbagai fasilitas yang membuat orang merasa betah untuk tetap berada pada ruang ini. Aku mulai mengingat semuanya. Saat aku menangis, tertawa, marah, sedih. Aku tersadar dari lamunanku saat aku mendengar samar-samar derap langkah kaki seseorang.
Tok ... tok ... tok ...
Aku mulai bangkit dari tempat aku bersandar. Tiba-tiba kepalaku sangat sakit. Jam berapa ini, batinku. Aku melihat jam di samping ranjangku.  Jam menunjukkan pukul 9 malam. Aku terlambat meminumnya. Lalu, terdengar ketukan pintu untuk kedua kalinya sambil memanggil namaku. “Ya, sebentar,” jawabku sambil menahan rasa sakit ini. Aku berusaha untuk tidak merasakan sakit ini. Perlahan aku berusaha untuk melangkahkan kaki. Akhirnya, aku berhasil menuju pintu itu. Aku membukanya. Ternyata, mama yang berada di balik pintu.
“Viona, kamu kenapa?” tanya mama khawatir.
“Viona nggak apa-apa. Viona baru dari kamar mandi jadi buka pintunya lama,” ucapku berbohong. Aku tidak ingin mama khawatir dengan keadaanku.
“Obatnya sudah diminum?” ujar mama.
“Maaf, Ma. Viona lupa. Sebentar lagi Viona minum obatnya,” jawabku dengan santai padahal aku tahu apa akibat dari aku terlambat meminumnya.
“Aduh, Viona. Mama kan sudah bilang jangan malas minum obat itu. Ini semua demi kebaikan kamu,” ucap mama dengan nada tegas.
“Tapi, Ma. Viona bosen minum obat terus. Viona sudah capek,” ucapku sedikit kasar.
“Viona, jangan pernah katakan itu lagi. Kamu sayang mama, kan? Jangan buat mama khawatir, nak!” pinta mama.
“Maafin Viona, Ma. Viona nggak maksud kayak gitu,” ucapku menyesali perbuatanku tadi yang berkata kasar pada mama.
“Ya, udah. Cepet diminum obatnya! Mama tunggu di meja makan,” kata Mama. Lalu, mama pergi.
“Ya, Ma,” jawabku.
Lalu, aku mengambil obat yang berada di atas meja di samping ranjangku. Aku segera menuju dapur. Sebelumnya, aku mampir dulu ke dapur untuk meminum obat ini. Ternyata, mama, papa, Kak Vino sudah menungguku di meja makan. Ketika aku hendak menuju meja makan yang letaknya berdekatan dengan dapur, kepalaku benar-benar sakit seperti ada ratusan bahkan ribuan paku yang menusuk. Aku tidak kuat lagi. Aku memegang kepalaku dan aku jatuh.
***
 “Dokter, sebenarnya Viona sakit apa?” tanya papa pada dokter yang memeriksaku.
“Ya, Dokter. Sebenarnya anak saya sakit apa? Kok dia akhir-akhir ini sering mengeluh sakit di kepalanya,” sahut mama penasaran.
“Viona, Dokter mau bicara dengan Papa Viona dulu. Kamu, keluar dulu, ya!” pinta dokter itu padaku dengan sangat sopan.
“Nggak mau. Viona mau tahu sebenarnya Viona sakit apa?” jawabku menolak permintaannya.
“Ya, sudah. Viona sabar ya! Viona divonis kena kanker otak stadium tiga,” ujar dokter dengan sangat hati-hati.
“Apa, Dokter? Kanker otak?” jeritku kaget. Aku tak pernah menyangka akan terkena penyakit mematikan ini.
“Ya, Viona. Kamu harus sabar. Kamu masih bisa melakukan kemoterapi dan dapat dilakukan operasi pengambilan jaringan-jaringan yang terkena kanker meski pada kenyataannya penderita kanker otak stadium tiga sulit disembuhkan. Tetapi dengan mukjizat Tuhan, kanker ini dapat sembuh. Perbanyak doa, Tuhan tidak akan memberikan cobaan yang tidak sanggup dipikul oleh hambaNya,” ucap dokter sekali lagi dengan sangat hati-hati.
“Umur Viona kira-kira tinggal berapa hari lagi?” tanyaku pada dokter sambil menahan air mata.
“Viona, kamu nggak boleh ngomong kayak gitu. Umur itu di tangan Tuhan,” ucap mama yang telah menangis.
“Viona tahu itu, Ma. Tapi, setidaknya Viona harus tahu umur Viona kurang berapa hari lagi dalam pandangan dokter,” kataku pada mama.
“Dalam kasus yang sama, penderita masih dapat bertahan selama satu atau dua bulan lagi. Kamu dapat melakukan kemoterapi untuk mencegah penyebaran kanker ini. Ini obat yang harus bapak tebus,” kata dokter yang mirip dengan salah satu artis ibu kota.
“Makasih, Dokter,” ucapku lalu berlari dari ruang ini.
Air mataku telah menetes. Sangat deras. Aku tidak sanggup dengan semua ini. Mama papa mengejarku dari belakang. Aku tetap berlari meskipun mereka memanggilkku. Akhirnya, aku terjatuh. Tangisan ini belum dapat berhenti hingga aku lemas dan pingsan.
***
Sekarang aku sudah tidak berada di rumahku lagi. Aku sudah berada di ruang VIP salah satu rumah sakit di kota ini. Aku ingat aku terjatuh saat akan makan malam. Tiba-tiba, badanku, kepalaku terasa amat teramat sakit. Aku tidak sanggup untuk membuka mata tapi aku mampu untuk mendengar semuanya. Tuhan, apa ini akhir hidupku, aku masih belum siap, izinkan aku untuk berpamitan dengan mereka yang aku sayangi, izinkan aku untuk melihat bulan untuk yang terakhir kali, pinta hatiku. Entah mendapat kekuatan darimana, perlahan-lahan aku mampu membuka kedua mataku. Meskipun sangat berat, tapi aku tetap berusaha. Ketika aku benar-benar telah membuka mata. Mereka serempak mengucapkan syukur.
“Mama, Papa, Kak Vino, Viona mau lihat bulan untuk terakhir kalinya. Boleh, kan?” pintaku pada mereka.
“Viona, kamu kan masih sakit. Nanti kalau kamu sudah sembuh kamu boleh lihat bulan,” jawab Kak Vino dengan sangat bijak.
“Viona, pengen lihat bulan. Please!” pintaku.
Akhirnya, Kak Vino bertanya pada dokter yang menanganiku. Dokter tersebut mengizinkan dengan berbagai syarat. Aku tidak boleh jalan. Aku harus menggunakan bantuan kursi roda untuk menuju taman rumah sakit. Sesampainya disana, aku menangis. Malam ini, bulan sangat indah. Aku belum pernah melihat bulan secantik malam ini. Hati kecilku berpuisi.
Tuhan, jika kau ingin mengambil nyawaku malam ini
Aku ikhlas
Aku rela
Aku sangat bahagia telah kau beri kesempatan untuk menikmati indahnya dunia
Aku mohon buat mereka yang aku sayang
Bahagia tanpa hadirnya aku dengan mereka
Jangan buat mereka sedih, Tuhan
 Aku mohon
 “Mama, Papa, Kak Vino, Viona pergi dulu. Viona sayang Mama, Papa, Kak Vino,” ucapku untuk terakhir kali.
Perlahan-lahan, mataku tertutup. Badanku lemas. Akhirnya, selesai sudah perjuanganku melawannya. Aku kalah darinya. Bulan malam ini mengantar kepergianku. Dia menuntunku untuk memasuki alam yang beda.

You Might Also Like

0 komentar

Fitria Nurrahmawati. Powered by Blogger.