Izinkan Aku Melihat Bulan
Malam ini sungguh sangat menggigit.
Entah, ini hanya perasaanku saja atau memang udara malam ini sangat menusuk.
Aku terdiam di sudut ruang ini. Aku mencoba mengingat semua kegiatan yang aku
lakukan di ruang ini. Ruang yang cukup besar menurut sebagian orang dengan atap
bewarna putih dan dinding biru. Di lengkapi dengan ranjang yang nyaman dan
berbagai fasilitas yang membuat orang merasa betah untuk tetap berada pada
ruang ini. Aku mulai mengingat semuanya. Saat aku menangis, tertawa, marah,
sedih. Aku tersadar dari lamunanku saat aku mendengar samar-samar derap langkah
kaki seseorang.
Tok ... tok ... tok ...
Aku mulai bangkit dari tempat aku
bersandar. Tiba-tiba kepalaku sangat sakit. Jam berapa ini, batinku. Aku
melihat jam di samping ranjangku. Jam
menunjukkan pukul 9 malam. Aku terlambat meminumnya. Lalu, terdengar ketukan
pintu untuk kedua kalinya sambil memanggil namaku. “Ya, sebentar,” jawabku
sambil menahan rasa sakit ini. Aku berusaha untuk tidak merasakan sakit ini.
Perlahan aku berusaha untuk melangkahkan kaki. Akhirnya, aku berhasil menuju
pintu itu. Aku membukanya. Ternyata, mama yang berada di balik pintu.
“Viona, kamu kenapa?” tanya mama
khawatir.
“Viona nggak apa-apa. Viona baru dari
kamar mandi jadi buka pintunya lama,” ucapku berbohong. Aku tidak ingin mama khawatir
dengan keadaanku.
“Obatnya sudah diminum?” ujar mama.
“Maaf, Ma. Viona lupa. Sebentar lagi
Viona minum obatnya,” jawabku dengan santai padahal aku tahu apa akibat dari
aku terlambat meminumnya.
“Aduh, Viona. Mama kan sudah bilang
jangan malas minum obat itu. Ini semua demi kebaikan kamu,” ucap mama dengan
nada tegas.
“Tapi, Ma. Viona bosen minum obat
terus. Viona sudah capek,” ucapku sedikit kasar.
“Viona, jangan pernah katakan itu lagi.
Kamu sayang mama, kan? Jangan buat mama khawatir, nak!” pinta mama.
“Maafin Viona, Ma. Viona nggak maksud
kayak gitu,” ucapku menyesali perbuatanku tadi yang berkata kasar pada mama.
“Ya, udah. Cepet diminum obatnya! Mama tunggu
di meja makan,” kata Mama. Lalu, mama pergi.
“Ya, Ma,” jawabku.
Lalu, aku mengambil obat yang berada di
atas meja di samping ranjangku. Aku segera menuju dapur. Sebelumnya, aku mampir
dulu ke dapur untuk meminum obat ini. Ternyata, mama, papa, Kak Vino sudah
menungguku di meja makan. Ketika aku hendak menuju meja makan yang letaknya
berdekatan dengan dapur, kepalaku benar-benar sakit seperti ada ratusan bahkan
ribuan paku yang menusuk. Aku tidak kuat lagi. Aku memegang kepalaku dan aku
jatuh.
***
“Dokter,
sebenarnya Viona sakit apa?” tanya papa pada dokter yang memeriksaku.
“Ya, Dokter. Sebenarnya anak saya sakit
apa? Kok dia akhir-akhir ini sering mengeluh sakit di kepalanya,” sahut mama
penasaran.
“Viona, Dokter mau bicara dengan Papa
Viona dulu. Kamu, keluar dulu, ya!” pinta dokter itu padaku dengan sangat
sopan.
“Nggak mau. Viona mau tahu sebenarnya Viona
sakit apa?” jawabku menolak permintaannya.
“Ya, sudah. Viona sabar ya! Viona divonis
kena kanker otak stadium tiga,” ujar dokter dengan sangat hati-hati.
“Apa, Dokter? Kanker otak?” jeritku
kaget. Aku tak pernah menyangka akan terkena penyakit mematikan ini.
“Ya, Viona. Kamu harus sabar. Kamu
masih bisa melakukan kemoterapi dan dapat dilakukan operasi pengambilan
jaringan-jaringan yang terkena kanker meski pada kenyataannya penderita kanker
otak stadium tiga sulit disembuhkan. Tetapi dengan mukjizat Tuhan, kanker ini
dapat sembuh. Perbanyak doa, Tuhan tidak akan memberikan cobaan yang tidak
sanggup dipikul oleh hambaNya,” ucap dokter sekali lagi dengan sangat
hati-hati.
“Umur Viona kira-kira tinggal berapa
hari lagi?” tanyaku pada dokter sambil menahan air mata.
“Viona, kamu nggak boleh ngomong kayak
gitu. Umur itu di tangan Tuhan,” ucap mama yang telah menangis.
“Viona tahu itu, Ma. Tapi, setidaknya
Viona harus tahu umur Viona kurang berapa hari lagi dalam pandangan dokter,”
kataku pada mama.
“Dalam kasus yang sama, penderita masih
dapat bertahan selama satu atau dua bulan lagi. Kamu dapat melakukan kemoterapi
untuk mencegah penyebaran kanker ini. Ini obat yang harus bapak tebus,” kata
dokter yang mirip dengan salah satu artis ibu kota.
“Makasih, Dokter,” ucapku lalu berlari
dari ruang ini.
Air mataku telah menetes. Sangat deras.
Aku tidak sanggup dengan semua ini. Mama papa mengejarku dari belakang. Aku
tetap berlari meskipun mereka memanggilkku. Akhirnya, aku terjatuh. Tangisan
ini belum dapat berhenti hingga aku lemas dan pingsan.
***
Sekarang aku sudah tidak berada di
rumahku lagi. Aku sudah berada di ruang VIP salah satu rumah sakit di kota ini.
Aku ingat aku terjatuh saat akan makan malam. Tiba-tiba, badanku, kepalaku
terasa amat teramat sakit. Aku tidak sanggup untuk membuka mata tapi aku mampu
untuk mendengar semuanya. Tuhan, apa ini akhir hidupku, aku masih belum siap,
izinkan aku untuk berpamitan dengan mereka yang aku sayangi, izinkan aku untuk
melihat bulan untuk yang terakhir kali, pinta hatiku. Entah mendapat kekuatan
darimana, perlahan-lahan aku mampu membuka kedua mataku. Meskipun sangat berat,
tapi aku tetap berusaha. Ketika aku benar-benar telah membuka mata. Mereka
serempak mengucapkan syukur.
“Mama, Papa, Kak Vino, Viona mau lihat
bulan untuk terakhir kalinya. Boleh, kan?” pintaku pada mereka.
“Viona, kamu kan masih sakit. Nanti
kalau kamu sudah sembuh kamu boleh lihat bulan,” jawab Kak Vino dengan sangat
bijak.
“Viona, pengen lihat bulan. Please!”
pintaku.
Akhirnya, Kak Vino
bertanya pada dokter yang menanganiku. Dokter tersebut mengizinkan dengan
berbagai syarat. Aku tidak boleh jalan. Aku harus menggunakan bantuan kursi
roda untuk menuju taman rumah sakit. Sesampainya disana, aku menangis. Malam
ini, bulan sangat indah. Aku belum pernah melihat bulan secantik malam ini.
Hati kecilku berpuisi.
Tuhan, jika kau ingin mengambil nyawaku
malam ini
Aku ikhlas
Aku rela
Aku sangat bahagia telah kau beri
kesempatan untuk menikmati indahnya dunia
Aku mohon buat mereka yang aku sayang
Bahagia tanpa hadirnya aku dengan
mereka
Jangan buat mereka sedih, Tuhan
Aku mohon
“Mama,
Papa, Kak Vino, Viona pergi dulu. Viona sayang Mama, Papa, Kak Vino,” ucapku
untuk terakhir kali.
Perlahan-lahan, mataku tertutup. Badanku lemas. Akhirnya, selesai sudah
perjuanganku melawannya. Aku kalah darinya. Bulan malam ini mengantar
kepergianku. Dia menuntunku untuk memasuki alam yang beda.
0 komentar